Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 743



Bab 743

Selena dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hansen melihat hasil spektrum kanker dan data pemeriksaan CT dan MRI.

Lewis semakin mengerutkan keningnya. “Hasil kemoterapi dua tahun yang lalu sangat bagus, tapi kali ini jelek sekali. Sel kanker sudah mulai menyerang jaringan sekitarnya. Tubuh Selena nggak bisa lagi menjalani kemoterapi karena hanya akan membebani tubuhnya dan mempercepat kematian.”

Kalimat ini sama seperti hukuman mati bagi Selena. Tangan Harvey meremas erat ujung kemejanya.

“Dia …”

Lewis menggelengkan kepala, “Aku juga nggak tahu kenapa, yang jelas sel–sel kanker di tubuhnya menyebar dengan cepat. Kalau kondisi ini terus berlanjut, Selena hanya akan hidup paling lama satu bulan, kalau kondisinya buruk mungkin hanya setengah bulan …”

Harvey rasanya mau jatuh pingsan.

Paling lama satu bulan? Bahkan bisa lebih cepat.

Lewis menepuk bahu Harvey dan berkata, “Kamu sudah berusaha sebaik mungkin. Kita semua nggak

ada yang mau hari ini terjadi. Lebih baik kamu habiskan waktu yang tersisa dengan baik.”

Selena jatuh koma. Karena tidak bisa makan dia hanya bisa mengandalkan infus untuk kekuatan

tubuhnya.

Harvey berdiri di sisinya dalam diam dengan mata yang merah.

Padahal dari awal Selena sudah bilang tidak akan hidup lama. Kenapa dia tidak percaya? Kenapa malah

membuatnya jadi begini?

Mau sesedih dan menyesal sebesar apapun, dia tidak bisa mengubah akhir cerita.

“Seli …”

Orang di atas tempat tidur tidak bergerak, kecuali dadanya yang naik turun, Dia seperti orang mati bahkan Harvey sendiri kaget melihatnya.

Bagaimana bisa seseorang yang baik–baik saja tiba–tiba berubah seperti ini dalam waktu yang begitu

singkat.

Harvey menampar dirinya sendiri kuat–kuat. “Bodoh!”

1/3.

Selena mendengar suara dan perlahan–lahan membuka matanya. Orang yang dilihatnya pertama kali adalah Harvey, sang pria sombong yang terhormat.

Namun saat ini, pria itu malah terlihat acak–acakkan, pakaiannya kusut dan matanya memerah.

Harvey langsung datang menghampiri begitu melihat Seli bangun. “Seli, apa rasanya?”

“Aku … akan mati, ‘kan?” Selena merasa lebih lemah daripada sebelumnya.

Harvey menggenggam tangan wanita itu dengan erat dan menggeleng, “Nggak akan. Kamu nggak akan

mati.”

Dia tertawa pahit, “Kamu itu bukan Tuhan. Apa hakmu mengendalikan hidup dan matiku?”

Harvey tidak bisa berkata apa–apa dan hanya menggenggam erat tangan Selena.

Sebelumnya Harvey sering mengatakan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan Selena pergi kecuali

dia mati.

Hidup Selena memang tampaknya akan segera berakhir, Text content © NôvelDrama.Org.

“Seli, apa kamu mau mengingat kembali masa lalumu?”

“Ternyata kamu yang sudah memainkan ingatanku?”

Harvey memeluk tubuhnya, “Maaf, aku terlalu mencintaimu.”

Berat badan Selena turun drastis dalam seminggu. Dia begitu kurus seperti tulang terbalut kulit. Harvey

sangat prihatin.

“Harvey, tolong kembalikan ingatanku. Aku nggak mau pergi tanpa kejelasan.”

“Baik hidupku penuh cinta atau kebencian. Kamu nggak punya hak mengendalikanku.”

Harvey diam sejenak lalu menjawab, “Baik.”

Di tengah taman yang penuh dengan mawar berduri, Erna yang mengenakan gaun tradisional berwarna biru tua mengayunkan kipasnya dengan santai.

Tiba–tiba terdengar sebuah suara, “Kamu ini hebat sekali. Bahkan Tuhan saja sepertinya nggak bisa

menemukanmu.”

Erna menoleh dan melihat seorang wanita yang mengenakan jubah berkerudung berdiri di bawah

cahaya bulan.

Kerudung itu tersibak angin dan memperlihatkan wajah Ellia.

Kalau dilihat saksama, kedua wanita ini cukup mirip.

“L’ama nggak ketemu, kakak sepupu.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.